Sebelum kita
masuk ke inti judul besar diatas, ada baiknya kita mengetahui dulu apa itu
globalisasi. Globalisasi adalah suatu fenomena khusus dalam peradaban manusia
yang bergerak terus dalam masyarakat global dan merupakan bagian dari proses
manusia global itu.
Globalisasi
menyentuh seluruh aspek penting dalam kehidupan. Globalisasi menciptakan
berbagai tantangan dan permasalahan baru yang harus dijawab, dipecahkan dan
difilterisasi dalam upaya memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan kehidupan.
Globalisasi
sendiri merupakan sebuah istilah yang muncul sekitar dua puluh tahun yang lalu,
dan mulai begitu populer sebagai ideologi baru sekitar lima atau sepuluh tahun
terakhir. Sebagai istilah, globalisasi begitu mudah diterima atau dikenal
masyarakat seluruh dunia. Wacana globalisasi sebagai sebuah proses ditandai
dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga ia mampu
mengubah dunia secara mendasar.
Globalisasi
memiliki banyak penafsiran dari berbagai sudut pandang. Sebagian orang
menafsirkan globalisasi sebagai proses pengecilan dunia atau menjadikan dunia
sebagaimana layaknya sebuah perkampungan kecil. Sebagian lainnya menyebutkan
bahwa globalisasi adalah upaya penyatuan masyarakat dunia dari sisi gaya hidup,
orientasi, dan budaya.
Nah,
setelah kita tahu apa itu globalisasi, barulah kita ketahui akibat – akibat
dari globaliasi ini dalam bidang kebudayaan, terutama di Indonesia. Bagi bangsa
Indonesia aspek kebudayaan merupakan salah satu kekuatan bangsa yang memiliki
kekayaan nilai yang beragam, termasuk keseniannya. Kesenian rakyat, salah
satu bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia tidak luput dari pengaruh
globalisasi.
Globalisasi
dalam kebudayaan dapat berkembang dengan cepat, hal ini tentunya dipengaruhi
oleh adanya kecepatan dan kemudahan dalam memperoleh akses komunikasi dan
berita akibat dari berkembang pesatnya teknologi modern, namun hal ini justru
menjadi bumerang tersendiri dan menjadi suatu masalahyang paling penting dalam
globalisasi, yaitu kenyataan bahwa perkembangan ilmu pengertahuan dikuasai oleh
negara-negara maju, bukan Negara – Negara berkembang seperti Indonesia. Akibatnya,
negara-negara berkembang, seperti Indonesia selalu khawatir akan tertinggal
dalam arus globalisai dalam berbagai bidang seperti budaya dan kesenian
kita.
Kecanggihan
teknologi sekarang ini, membuat generasi bangsa kita lebih mudah mengakses
informasi seluruh dunia dengan sangat cepat. Dengan informasi yang didapatkan,
tentu saja membuat generasi bangsa kita ingin mencoba dan mencoba hal – hal
baru yang mereka temukan. Karena percobaan inilah akhirnya mereka mulai meninggalkan
aspek – aspek nasionalisme dan lebih memilih budaya luar ketimbang budaya
sendiri yang mereka anggap kuno dan ketinggalan zaman.
Tidak perlu
jauh – jauh, tarian – tarian daerah saja kini sudah mulai hilang dimakan zaman,
tidak adanya lagi ketertarikan terhadap seni yang konvensional ini. Gerakan –
gerakan itu sudah dimodifikasi oleh generasi bangsa dengan gerakan – gerakan
internasional seperti breakdance, hip hop, tango, elektro dan banyak lagi macam
gerakan yang lain.
Tidak adanya
penerus turun temurun dari pemegang tarian ini mungkin saja merupakan salah
satu penyebab hilangnya kesenian bangsa Indonesia. Dampaknya, bukan saja
hilang, yang lebih parah, kesenian kita diakui oleh Negara tetangga yang minim
dengan budaya. Ketika itu terjadi, baru kita bangkit dan berkoar – koar tidak
jelas ingin merebut kembali kesenian itu, padahal, kitanya sendiri yang
mengabaikan kesenian itu. Indonesia memang munafik dan banyak omongnya saja.
Kesenian
Indonesia, jika kita lestarikan, tentu membuat Indonesia menjadi Negara yang
masih menghargai budayanya dan akan diakui di mata dunia. Dampak dari
penyempitan dunia ini memang sangatlah ironis jika kita tidak mampu menyaring
dan memilah baik buruknya globalisasi ini.
Namun, ada
beberapa oknum dari Indonesia yang mampu membuat suatu inovasi baru dalam
berkarya dan tidak menghilangkan unsure intrinsik budaya Indonesia itu. Contoh,
tarian – tarian yang di kontemporerkan dengan tarian barat, yang mana hasilnya
membuat suatu ketertarikan sendiri dimata generasi muda sekarang ini. Walaupun
tidak banyak, tetapi apabila dilakukan bersama – sama dan dikembangkan terus,
tentu pastinya akan berdampak baik dari pada hilang sama sekali.
Dalam keadaan
seperti ini, pihak dari Indonesia dan pihak dari luar tentu saling mempengaruhi,
tergantung dari pihak yang dipengaruhinya saja bagaimana untuk menerima
pengaruh – pengaruh yang ada hingga menjadi satu kesatuan yang dapat memajukan
dirinya sendiri.
Sebenarnya proses
saling mempengaruhi adalah gejala yang wajar dalam interaksi antar masyarakat. Melalui
interaksi dengan berbagai masyarakat lain, bangsa Indonesia ataupun kelompok – kelompok
masyarakat yang mendiami nusantara (sebelum Indonesia terbentuk) telah
mengalami proses dipengaruhi dan mempengaruhi. Kemampuan berubah merupakan
sifat yang penting dalam kebudayaan manusia. Tanpa itu kebudayaan tidak mampu
menyesuaikan diri dengan keadaan yang senantiasa berubah. Perubahan yang
terjadi saat ini berlangsung begitu cepat. Pada hakekatnya bangsa Indonesia,
juga bangsa-bangsa lain, berkembang karena adanya pengaruh-pengaruh luar.
Kemajuan bisa
dihasilkan oleh interaksi dengan pihak luar, hal inilah yang terjadi dalam
proses globalisasi. Oleh karena itu, globalisasi bukan hanya soal ekonomi namun
juga terkait dengan masalah atau isu makna budaya dimana nilai dan
makna yang terlekat di dalamnya masih tetap berarti. Terkait dengan
kebudayaan, kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang
dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga
masyarakat terhadap berbagai hal. Atau kebudayaan juga dapat didefinisikan
sebagai wujudnya, yang mencakup gagasan atau ide, kelakuan dan hasil kelakuan, dimana
hal – hal tersebut terwujud dalam kesenian tradisional kita.
Masyarakat
Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk dalam berbagai hal, seperti
anekaragaman budaya, lingkungan alam, dan wilayah geografisnya.
Keanekaragaman masyarakat Indonesia ini dapat dicerminkan pula dalam berbagai
ekspresi keseniannya. Dengan perkataan lain, dapat dikatakan pula bahwa
berbagai kelompok masyarakat di Indonesia dapat mengembangkan keseniannya yang
sangat khas. Kesenian yang dikembangkannya itu menjadi model-model pengetahuan
dalam masyarakat. Namun, dimasa sekarang ini, budaya itu sama halnya
dengan teori evolusi Darwin, terseleksi oleh alam.
Entah
seperti apa perekembangan budaya di Indonesia beberapa tahun kelak, apakah akan
didominasi kembali oleh budaya barat? Benarkah kita masih dijajah? Ya, benar.
Kita masih dijajah dengan cara yang berbeda, bias dikatakan pihak barat melakukan
eksploitasi nilai besar – besaran dengan perkembangan media.
Misalnya
saja khusus dalam bidang hiburan massa atau hiburan yang bersifat
masal, makna globalisasi itu sudah sedemikian terasa. Sekarang ini setiap hari
kita bisa menyimak tayangan film di tv yang bermuara dari negara-negara maju
seperti Amerika Serikat, Jepang, dan lain – lain, melalui stasiun televisi di
tanah air. Belum lagi siaran tv internasional yang bisa ditangkap melalui
parabola yang kini makin banyak dimiliki masyarakat Indonesia. Sementara itu,
kesenian – kesenian populer lain yang tersaji melalui kaset, vcd, dan dvd yang
berasal dari manca negara pun makin marak kehadirannya di tengah-tengah kita.
Fakta yang demikian memberikan bukti tentang betapa Negara – Negara penguasa teknologi
mutakhir telah berhasil memegang kendali dalam globalisasi budaya khususnya di
negara berkembang.
Lalu
bagaimanakah cara kita mengantisipasinya? Adakah sudah tindakan kita? Dikatakan
sudah, tidak juga, dikatakan belum juga tidak. Namun, daripada itu semua, ada
baiknya mulai dari sekarang kita memanfaatkan globalisasi ini sebagai ajang
memacu pendidikan kita.
Jadi,
dasarnya adalah pendidikan, dengan pendidikan yang serba lengkap dan ada
seperti sekarang ini tentu akan membuat kita semakin maju dan akhirnya dapat
menemukan suatu inovasi baru dalam menanggapi situasi transkultural sekarang
ini. Jika kita memang dijajah, tentu kita harus melawan balik. Gunakan senjata
– senjata yang mereka berikan kepada kita. Dari sinilah kita dapat membuktikan
kalau kita benar – benar ingin merdeka dari campur tangan bangsa asing.
Selama ini
kita banyak meminta bantuan pihak luar untuk mengelola Negara kita. Apakah
kebudayaan seperti ini harus tetap berlanjut, minyak kita dikuasai pihak asing,
dan perusahaan swasta besar lainnya pun juga dikuasi oleh pihak asing, dan kita
adalah pekerjanya, bukan kita yang memegangnya. Sudah saatnya kita berpikir
maju, berpikir bukan untuk ego kita sendiri, tapi kebersamaan kita yang ada.
Bhineka Tunggal Ika, ya, kata itu harus kita buat bermakna dan memang benar –
benar berbeda tetapi tetap satu.
Budaya kita
adalah kebersamaan, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Tidak ada lagi
korupsi tidak ada lagi permainan – permainan licik yang membudaya di bumi
Indonesia kita. Kita mungkin dijajah oleh pihak asing yang meninggalkan budaya
bejat tersebut. Namun, kita ini bangsa Indonesia bukan bangsa lain. Kita
dilahirkan dengan keramahan, keadilan dan perbedaan yang menyatu. Bukan praktik
adu domba, dan KKN serta aksi saling menjatuhkan. Itu budaya kita, itu sifat
kita, tapi kenapa kita lebih cenderung seperti bangsa lain.
Dunia
memandang kita sebagai bangsa yang hebat, terpisahkan oleh lautan, namun tetap
bersatu dengan kebudayaan yang ada. Ironisnya, sekarang ini kita seperti
terpengaruh faktor lingkungan yang menyebabkan kita saling acuh tak acuh,
mengabaikan dan terabaikan.
Kesenian –
kesenian yang indah milik kita, hilang. Dirampas dan punah karena kita sendiri.
Eksistensi atau keberadaan kesenian rakyat berada pada titik yang rendah dan
mengalami berbagai tantangan dan tekanan-tekanan baik dari pengaruh luar maupun
dari dalam. Tekanan dari pengaruh luar terhadap kesenian rakyat ini dapat
dilihat dari pengaruh berbagai karya – karya kesenian populer dan juga karya – karya
kesenian yang lebih modern lagi yang dikenal dengan budaya pop. Kesenian
– kesenian populer tersebut lebih mempunyai keleluasan dan kemudahan – kemudahan
dalam berbagai komunikasi baik secara alamiah maupun teknologi, sehingga hal
ini memberikan pengaruh terhadap masyarakat. Selain itu, aparat
pemerintah nampaknya lebih mengutamakan atau memprioritaskan segi keuntungan
ekonomi (bisnis) ketimbang segi budayanya, sehingga kesenian rakyat semakin
tertekan lagi.
Segi
komersialisasi yang dilakukan oleh aparat pemerintah ini tentu saja didasarkan
atas pemikiran yang pragmatis dan cenderung mengikuti perkembangan – perkembangan
dan perubahan – perubahan yang ada. Dengan demikian, pengaruh ini jelas –
jelas mempunyai dampak yang besar terhadap perkembangan dan kreativitas
kesenian rakyat itu sendiri. Di pihak lain, adanya masyarakat yang masih setia
kepada tradisinya perlahan – lahan mengikuti perkembangan pembangunan.
Kebanyakan
hal tersebut (kesenian tradisional) ini tidak dapat bangun lagi karena kerasnya
daya saing dengan kesenian-kesenian yang sangat modern. Sementara itu,
pemerintah hampir tidak peduli lagi dengan keadaan kesenian tradisional di
daerah. Hal ini, bisa saja disebabkan oleh adanya asumsi – asumsi
yang dikaitkan dengan konsep – konsep dasar pembangunan di bidang
kesenian yang penekanannya dan intinya melestarikan dan mengembangkan kesenian
yang bertaraf dengan kecenderungan universal. Sehingga, kesenian-kesenian
yang ada sekarang ini dapat dianggap tidak sesuai dengan objek – objek
dan tujuan dari pembangunan yang sedang dijalankannya
ini. Dengan kata lain, bahwa keaslian dari suatu kesenian dipandang
belum dapat dibanggakan sebagai bukti keberhasilan suatu pembangunan di
daerahnya.
Peran kebijaksanaan pemerintah yang
lebih mengarah kepada pertimbangan-pertimbangan ekonomi daripada cultural atau
budaya, menurut pendapat saya dapat dikatakan merugikan suatu perkembangan
kebudayaan. Dalam pengamatan yang lebih sempit dapat kita melihat tingkah
laku aparat pemerintah dalam menangani perkembangan kesenian rakyat, di mana
banyaknya campur tangan dalam menentukan objek dan berusaha merubah agar sesuai
dengan tuntutan pembangunan. Dalam kondisi seperti ini, arti dari kesenian
rakyat itu sendiri menjadi hambar dan tidak ada rasa seninya
lagi. Melihat kecenderungan tersebut, maka saya pribadi melihat
aparat pemerintah telah menjadikan para seniman dipandang sebagai objek
pembangunan dan diminta untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan simbol – simbol
pembangunan.
Dengan
demikian, kesenian rakyat semakin lama tidak dapat mempunyai ruang yang cukup
memadai untuk perkembangan secara alami atau natural, karena itu, secara tidak
langsung kesenian rakyat akhirnya menjadi sangat tergantung oleh model-model
pembangunan yang cenderung lebih modern dan rasional.
Sebagai
contoh dari permasalahan ini dapat kita lihat, misalnya kesenian asli daerah
Betawi yaitu, tari cokek, tari lenong, dan sebagainya sudah diatur dan
disesuaikan oleh aparat pemerintah untuk memenuhi tuntutan dan tujuan kebijakan-kebijakan
politik pemerintah.
Aparat
pemerintah di sini turut mengatur secara normatif, sehingga kesenian Betawi
tersebut tidak lagi terlihat keasliannya dan cenderung dapat
membosankan. Untuk mengantisipasi hal – hal yang tidak dikehendaki
terhadap keaslian dan perkembangan yang murni bagi kesenian rakyat tersebut,
maka pemerintah perlu mengembalikan fungsi pemerintah sebagai pelindung dan
pengayom kesenian – kesenian tradisional tanpa harus turut campur dalam proses
estetikanya.
Memang diakui
bahwa kesenian rakyat saat ini membutuhkan dana dan bantuan pemerintah sehingga
sulit untuk menghindari keterlibatan pemerintah dan bagi para seniman rakyat
ini merupakan sesuatu yang sulit pula membuat keputusan sendiri untuk sesuai
dengan keaslian yang diinginkan para seniman rakyat tersebut. Oleh karena itu
pemerintah harus melakoni dengan benar – benar peranannya sebagai pengayom
yang melindungi keaslian dan perkembangan kesenian rakyat tersebut tanpa harus
merubah dan menyesuaikan dengan kebijakan – kebijakan politik.
Beranjak dari itu semua, kita tahu,
yang pertama kali harus mengantisipasinya adalah diri kita sendiri. Kita
lakukan penyaringan dan pelestarian
budaya itu sendiri, walaupun terabaikan tetapi jika ditekuni terus menerus pasti
ada pengaruh bagi generasi yang sudah “terinfeksi” untuk kembali kepada
pangkuan bumi pertiwi ini. Merdeka Indoenesiaku, sudah saatnya kita bangun dan
mencuci wajah kita untuk menata kembali kampung halaman kita ini.